Judul : Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5)
link : Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5)
Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5)
RottenTomatoes: 80% | IMDb : 7,3/10 | Metascore: 80/100 | NikenBicaraFilm: 4/5
Genre: Drama, Adventure, Mystery, Science-Fiction | Rated: 13+
Directed by James Gray ; Produced by Brad Pitt, Dede Gardner, Jeremy Kleiner, James Gray, Anthony Katagas, Rodrigo Teixeira, Arnon Milchan ; Written by James Gray, Ethan Gross ; Starring Brad Pitt, Tommy Lee Jones, Ruth Negga, Liv Tyler, Donald Sutherland ; Music by Max Richter ; Cinematography Hoyte van Hoytema ; Edited by John Axelrad, Lee Haugen ; Production company20th Century Fox, Regency Enterprises, Bona Film Group, New Regency, Plan B Entertainment, RT Features, Keep Your Head Productions, MadRiver Pictures ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date August 29, 2019 (Venice), September 20, 2019 (United States) ; Running time124 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $80–100 million
Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah gelombang misterius tengah membahayakan bumi. Diduga gelombang itu datang dari Lima Project di Planet Neptunus yang dipimpin oleh Clifford McBride (Tommy Lee Jones). Mayor Roy McBride (Brad Pitt), putra Clifford McBride yang juga mengikuti jejak ayahnya sebagai astronot diminta menjalankan misi rahasia untuk menghubungi ayahnya.
Review / Resensi :
Ad Astra adalah salah satu film yang paling saya tunggu tahun ini. Alasannya tentu saja karena film ini adalah tentang luar angkasa, dan segala tentang luar angkasa selalu menggairahkan saya. Tapi saya menemukan diri saya dalam perasaan campur aduk selepas menontonnya, antara excited dan "hampa". Perasaan hampa itu mungkin juga mendera sebagian penonton awam yang mengira Ad Astra adalah sebuat petualangan luar angkasa seseru Interstellar. Saya harus katakan di awal, Ad Astra sama sekali nggak mirip Interstellar, atau The Martian, atau bahkan Gravity. Ad Astra lebih mengingatkan saya dengan 2001: A Space Odyssey dan First Man - dan itu artinya film ini akan gampang "dituduh" sebagai film luar angkasa yang membosankan. Selain itu, dan ini cukup fatal, saya kesulitan untuk terkoneksi dengan karakter dan personal life sang protagonis utama. Hal ini jauh berbeda dengan yang saya alami saat menonton Arrival, misalnya (you know how much I love that movie). Bahkan, film First Man yang nyaris "menidurkan" saya itu masih punya satu momen melankolis yang bikin saya banjir air mata. Sayangnya, Ad Astra tidak punya momen itu.
Tapi selepas menontonnya, saya berusaha mencerna dan meresapi film ini pelan-pelan, karena saya yakin film ini tidak sesederhana premis ceritanya. Saya berusaha mengingat adegan-adegannya sambil memahami ulang makna yang hendak disampaikan James Gray selaku sang sutradara dan penulis naskah. Ulasan David Ehrlich dari Indiewire juga sangat membantu saya hingga kemudian saya mulai bisa menyusun dan mengira-ngira makna yang terkandung dalam film ini. Dan untunglah, pada akhirnya saya memahami bahwa Ad Astra menawarkan sesuatu yang tidak dipunyai film-film luar angkasa lainnya: sebuah pengalaman kontemplatif tentang filosofi hidup, dan ini yang membuat saya menaruh hormat pada James Gray dan menyadari Ad Astra sebagai sebuah film luar angkasa yang mengagumkan.
James Gray dalam salah satu wawancaranya bilang bahwa ia ingin membuat film luar angkasa paling realistis. Karakter dan kisah film ini tampaknya juga terinspirasi saat ia menonton konferensi pers Neil Armstrong kala tiba di bumi setelah berhasil menyelesaikan misinya mendarat di bulan. Kala itu, Neil Armstrong baru saja keluar dari karantina, ia mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim Apollo, Gemini, dan Saturn, lalu ia pun mulai bercerita tentang pengalamannya saat mendarat di bulan, dan ceritanya nyaris dalam bahasa teknis. Armstrong sama sekali tidak menyinggung dirinya. Ini bisa jadi terdengar heroik dan rendah hati, tapi Gray merasa itu hal yang aneh. Neil Armstrong baru saja mencetak sejarah paling akbar dalam perjalanan manusia, namun ia tidak mengungkapkan emosi dan perasaannya. Kalau kamu sudah pernah menonton First Man, kamu mungkin akan bisa sedikit paham karakter Neil Armstrong (dan mungkin para astronot pada umumnya). Seorang pria pekerja keras, workaholic, tampak "pendiam", tidak emosional, dan nyaris robotik.
Karakter itu sedikit banyak mengingatkan saya dengan karakter Roy McBride (Brad Pitt) di film Ad Astra. Roy adalah seorang pria stoic yang mengabdikan dirinya pada pekerjaannya. Detak jantungnya bahkan secara spektakuler tidak pernah di atas delapan puluh dalam kondisi apapun. Di lain sisi, ia tampaknya tipe orang yang kesulitan terhubung dengan dunia di sekitarnya, termasuk di antaranya istrinya sendiri (Liv Tyler). Ia pun punya daddy issue, merasa tidak pernah punya ikatan dengan ayahnya atau bahkan mengenal ayahnya dengan baik (ia juga takut jangan-jangan ia mirip dengan ayahnya), dan bertanya-tanya kenapa ayahnya menerima misi yang membuatnya harus berpisah dengan keluarganya. Petualangan ke luar angkasa bagi Roy McBride tampaknya adalah sebuah perjalanan personal untuk mencari "closure" dari perasaan yang menghantuinya selama ini. Saya pikir inilah salah satu inti yang hendak disampaikan James Gray, sebagaimana yang saya kutip dari review David Ehrlich: "The beauty of “Ad Astra” — and there’s plenty of it — is how Gray uses the film’s intergalactic scale to distill his characters down to their smallest essence. At a time when people are wondering if big-screen epics can still afford to tell personal stories, Gray has told a personal story that demanded to be a big-screen epic".
Ad Astra akan mengajakmu transit ke bulan (di bulan ternyata ada Subway dan Yoshinoya), menuju daerah gelap bulan, lalu terbang ke Mars, kemudian perjalanan berikutnya melewati Jupiter, Saturnus, dan tiba di Neptunus. Sebagai seseorang yang selalu merasa luar angkasa adalah tempat yang puitis, saya dibikin terharu dan mengagumi segala aspek visual yang muncul di layar bioskop (dan saya sedih karena nggak bisa nonton dalam format IMAX). Adalah sebuah kerja hebat dari sinematografer Hoyte van Hoytema (yang populer sebelumnya menggarap Her, Spectre, Interstellar dan Dunkirk) dan seluruh tim visual effect. Namun di luar segala pengalaman visual yang menakjubkan itu, saya paham bahwa sebagian orang akan merasa bahwa film ini membosankan. Memang ada banyak hal berbahaya seperti adegan kejar-kejaran di bulan, serangan makhluk misterius, atau serangkaian kecelakaan dan pembunuhan, namun selain itu film ini nyaris "tidak terjadi apa-apa". Bagi mereka yang selalu mendasarkan film yang asyik itu pada keseruan plot cerita atau intensitas peristiwa, maka kemungkinan besar akan kecewa ketika film ini bergerak begitu pelan dengan ending yang predictable. Kebanyakan orang juga akan mungkin mempertanyakan peran-peran karakter (diperankan oleh aktor dan aktris ternama pula) yang muncul di film yang seolah-olah tidak ada gunanya. Tapi saya berharap kamu mau kasih film ini kesempatan, dengan menggalinya lebih dalam. Bagi saya Ad Astra (yang mempunya arti Through the Stars) bukanlah sekedar sebuah petualangan ke luar angkasa, tapi perjalanan mencari diri sendiri dan makna hidup. Beh. Berat.
Hal yang paling saya sukai dari mempelajari alam semesta adalah dengan belajar semesta, kita juga sebenarnya mempelajari hakikat tentang hidup, eksistensi manusia dan Tuhan. Mustahil kamu mempelajari alam semesta tanpa berpikir filosofis: untuk apa kita hidup? apakah Tuhan ada? Dimanakan Tuhan? Apakah Tuhan menciptakan makhluk cerdas selain manusia? Jika iya, dimanakah mereka? Jika tidak, kenapa Tuhan hanya menciptakan kita? Kenapa Tuhan menciptakan semesta sebesar ini dan hanya menciptakan manusia sebagai makhluk yang punya kesadaran? Dan lain sebagainya... Saya jadi teringat kala tidak sengaja mengikuti seminar astronomi, dimana salah satu pertanyaan paling umum ditanyakan adalah: "Kenapa kita membuang begitu banyak uang untuk mempelajari luar angkasa? Apakah hidup kita akan jadi lebih baik dengan mengetahui fakta tentang semesta?".
Saya sendiri dari dahulu punya cita-cita pergi ke luar angkasa, walau saya tahu itu tidak mungkin. Tapi saya ingin melihat bumi dari bulan, atau melihat Saturnus dengan mata kepala sendiri, atau menuju ujung semesta, atau menjatuhkan diri ke dalam black hole. Tapi saya sendiri mikir betapa bahayanya perjalanan ke luar angkasa, sementara saya takut mati, dan saya takut meninggalkan apa yang saya punya di bumi. Jadi cita-cita itu belakangan saya revisi: saya ingin pergi ke luar angkasa kalau saya sekarat dan divonis hidup tidak lama lagi. Dengan begitu, saya ke luar angkasa dengan perasaan nothing to lose (iya saya tahu toh cita-cita ini tidak akan mungkin terjadi, namun kalau memang saya mati dan jadi hantu, saya tetap ingin gentayangan ke luar angkasa). Saya juga percaya (atau ini hanya hasrat romantis) bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk cerdas di alam semesta. Tampaknya gagasan bahwa kita benar-benar sendirian di semesta yang sebegini besarnya itu cukup menakutkan buat saya, namun bagaimana jika ini benar? Bagaimana jika pencarian kehidupan lain di alam semesta adalah sebuah pencarian yang sia-sia? Pemikiran semacam inilah yang tampaknya harus kita tanyakan kepada seluruh astronot di muka bumi ini: kenapa sudi repot-repot membahayakan hidup untuk eksplorasi luar angkasa? Kenapa rela menukar segala kebahagiaan bersama orang terkasih di bumi dengan merasa kesepian dan terisolasi di luar angkasa? Sementara dalam kasus sang ayah yang menghilang, Clifford McBride di film Ad Astra, pertanyaannya adalah apakah ambisinya mencari kehidupan cerdas di semesta lain sepadan dengan meninggalkan anak lelakinya? Ataukah ia hanya sedang melarikan diri dari kehidupan di bumi? (Btw, jangan bandingkan dengan astronot-astronot dalam film Interstellar ya yang punya motivasi urgensi: bumi sekarat, dan nasib bumi ada di tangan mereka).
Sebagaimana saya kutip lagi dari ulasan Ehrlich: "Ad Astra is a logical destination for someone who’s always believed that existential questions can only be answered by intimate understanding; that mind-blowing spectacle can only be conveyed in the most personal terms". Pertanyaan tentang eksistensi itu dapat terjawab dengan pemahaman yang bersifat intim dan personal. Saya mulai mempelajari perihal ini baru-baru saja yang mungkin membantu saya melepaskan diri dari pemikiran nyaris nihilistik: bahwa jikalau kehidupan ini tak berarti, setidaknya kita dapat hidup bahagia dengan orang-orang yang kita sayangi - dan ini yang bikin hidup yang singkat ini berharga. Saya menangkap pendekatan ini yang kemudian akhirnya dipilih karakter Brad Pitt di akhir film: ia memilih berjuang untuk kembali ke bumi dan memulai hidupnya yang baru dengan optimisme. Ini adalah sebuah langkah yang juga luar biasa berani, dan membuatnya berbeda dengan sosok ayahnya.
Brad Pitt memberikan performa luar biasa sebagai Roy McBride. Setelah menontonnya menjadi stuntman super macho di film Once Upon a Time in Hollywood-nya Quentin Tarantino, Brad Pitt berakting berbeda seratus delapan puluh derajat. James Gray, yang tampaknya seorang family man (ia ayah dari tiga orang anak), menjadikan karakter Roy McBride sebagai seseorang yang rapuh. Oke, sekilas Roy memang pria maskulin yang heroik: berjuang tidak kenal takut, mampu menghadapi bahaya apapun tanpa membuatnya jadi gila. Namun, dalam adegan ia menangis kala mengirim pesan untuk ayahnya, karakternya yang kaku dan tanpa emosi mendadak ditelanjangi seutuhnya menjadi pribadi yang nyata: seorang anak yang merana karena seumur hidupnya mempertanyakan kenapa ayahnya meninggalkannya. Well, at least itulah yang tampaknya hendak James Gray sampaikan. Tapi, seperti yang saya sudah bilang di awal, saya sendiri kesulitan untuk berempati terhadap karakternya. Mungkin karena hubungan Roy dan ayahnya hanya digambarkan sekilas dalam flashback yang buat saya tidak cukup kuat, atau memang karakter Roy yang less-emotion, atau memang James Gray tidak hendak menjadikan Ad Astra sebagai kisah yang mendayu-dayu, atau saya saja yang memang tidak punya korelasi personal dengan kisahnya. But that's the problem, hal ini yang membuat saya agak "blank" selepas menontonnya... Dan bagi saya yang sangat melankolis, film yang emosional itu penting ~
Demikianlah Artikel Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5)
Sekianlah artikel Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5) dengan alamat link https://contohwebsiteagc.blogspot.com/2019/09/spoiler-review-analisis-ad-astra-2019-45.html
0 Response to "Spoiler Review & Analisis : Ad Astra (2019) (4/5)"
Posting Komentar