Review: Midsommar (2019) (4/5)

Review: Midsommar (2019) (4/5) - Hallo sahabat CONTOH WEBSITE AGC, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review: Midsommar (2019) (4/5), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel 2019, Artikel gore, Artikel horror, Artikel mystery and suspense, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review: Midsommar (2019) (4/5)
link : Review: Midsommar (2019) (4/5)

Baca juga


Review: Midsommar (2019) (4/5)


RottenTomatoes: 83% | IMDb: 7,6/10 | Metascore: 72/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: 21+ | Genre: Horror, Mystery

Directed by Ari Aster ; Produced by Lars Knudsen, Patrik Andersson ; Written by Ari Aster ; Starring Florence Pugh, Jack Reynor, William Jackson Harper, Vilhelm Blomgren, Will Poulter ; Music by Bobby Krlic ; Cinematography Pawel Pogorzelski ; Edited by Lucian Johnston ; Production companies Square Peg, B-Reel Films ; Distributed by A24 (United States), Nordisk Film (Sweden) ; Release dateJuly 3, 2019 (United States), July 10, 2019 (Sweden) ; Running time 147 minutes, 171 minutes (Director's cut) ; Country United States, Sweden ; Language English, Swedish ; Budget $8–10 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Setelah mengalami peristiwa traumatis dalam hidupnya, Dani (Florence Pugh) mengikuti kekasih dan sahabat-sahabatnya mengunjungi festival musim panas di Swedia.

Review / Resensi :

(Sekedar informasi, saya menonton Midsommar versi bioskop Indonesia. Itu artinya saya menonton versi yang disensor dengan kejam. Mungkin penilaian dan pandangan saya bisa berubah kalau saya menonton versi Director's Cut-nya, tapi entah apakah saya punya cukup energi untuk menontonnya dua kali)

Menurutmu, apa yang membuat film Ari Aster sebelumnya, Hereditary (2018) bagus dan banjir pujian? Buat saya, kekuatan film Hereditary ada pada sensasi yang diberikan setelah usai menontonnya. Sumpah, hidup saya jadi terasa lebih suram dan depresif setelahnya. Untuk orang yang punya sedikit (atau banyak) khayalan buruk tentang hidup, Hereditary seolah-olah menyalurkan ketakutan terbesar dalam hidup saya: the death of our significant others. Hal inilah yang kemudian kembali dilakukan Ari Aster dalam film keduanya, Midsommar. Lewat sejumlah ritual-ritual kelam yang terlalu aneh untuk dinalar dengan pola pikir saat ini dan bagaimana film ini memberikan sensasi halusinasi seolah habis menggunakan LSD, Midsommar sukses membuat kamu duduk dengan gelisah di bioskop. Sungguh hal ini bikin saya pengen berteman dengan Ari Aster dan menanyakan banyak hal kepadanya, "Mas, are you okay? Apakah kamu punya anxiety issue? Apakah hubunganmu dan keluargamu baik-baik saja?". Pada kenyataannya di salah satu wawancara Ari Aster memang mengaku sebagai seorang neurotik dan hipokondria, tapi selain itu ia tampak seperti pria normal biasa-biasa aja. Mungkin ia memang tipikal artist yang menyalurkan energi negatif (atau menularkan?) dalam hidupnya lewat karya seni. Iya, karya seni yang rada bangsat. 

Jika sebelumnya lewat Hereditary Ari Aster membuat film tentang family tragedy versinya, kali ini ia menyajikan breakup movie. Versi horror, tentu saja. Dani (Florence Pugh) adalah seorang mahasiswi psikologi yang berpacaran dengan Christian (Jack Reynor), mahasiswa S2 antropologi yang lagi bingung tentang tesisnya. Hubungan mereka tidak baik-baik saja: Dani cewek needy yang depresi dengan masalah dalam hidupnya, sementara Christian sudah rada jengah dengan hubungannya namun tetap mempertahankan hubungan karena kewajiban. Sebagaimana married couple yang memutuskan punya anak sebagai solusi mengatasi hubungan mereka yang bermasalah, mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke Swedia untuk memperbaiki hubungan mereka. Apa yang tampak sebagai rekreasi yang asyik ternyata tidak seindah yang dibayangkan (tentu saja!) ~


Terinspirasi dari The Wicker Man, Midsommar menyajikan film bergenre modern folk-horror dengan style yang mungkin tidak pernah kita bayangkan akan kita dapatkan dalam film horror: siang-siang dengan cahaya matahari yang menyilaukan. Midsommar memang merujuk pada perayaan musim panas di Eropa Utara, dimana matahari bersinar lebih lama dari biasanya (jam sembilan malam di sana tampak seperti jam 12 siang). Saya mengagumi desain set bangunan yang unik dan cantik (kabarnya tim produksi membuat set village dari lapangan kosong, sebagaimana sebelumnya Ari Aster membuat stage khusus untuk menampilkan rumah di film Hereditary). Saya juga menyukai ilustrasi-ilustrasi quirky yang menghiasi sepanjang film, wardrobe para anggota komune (midi-dress yang cantik dengan sulaman-sulaman bunga-bunga), serta hiasan bunga di kepala yang super cantik. Saya seperti menyaksikan pemotretan khusus majalah fashion high-class, dan mungkin konsep ini yang saya inginkan kalau saya mau pre-wed. Tapi, berhubung saya tahu ini untuk film horror, tentu saja saya jadi mikir-mikir lagi kalau mau foto beginian ~

Seperti yang saya katakan di paragraf awal, kehebatan Ari Aster dengan 2 karya film horrornya sesungguhnya bukan cuma ada pada adegan-adegan horror atau sadisnya yang eksplisit (dan artistik, kabarnya Ari Aster terinspirasi dari karya-karya Joel-Peter Witkin), tapi bagaimana sensasi yang ditimbulkan setelahnya. Selain itu, adegan sadis di Midsommar mungkin akan membuat siapa saja yang berhati lembut muntah-muntah, tapi bagaimana Ari Aster membimbing ke arah situ yang sebenarnya membuatnya menjadi sutradara jenius. Saya coba jelaskan dengan lebih baik lagi: saya cukup menyukai adegan sadis berdarah-darah, dan kebanyakan film yang mengglorifikasi kekerasan ini membuat saya tertawa kegirangan (katakanlah, film Tarantino, atau SAW). Tapi kelemahan saya adalah film-film realis psikologis yang menyiksa mental saya, sebut saja: series Breaking Bad yang bikin saya stress sepanjang film, atau adegan orgy di Eyes Wide Shut yang bikin saya jantungan, atau bagian akhir dari film Audition yang masih menghantui saya sampai saat ini. Nah, Ari Aster ini jago banget bermain di ranah kedua. Ia menyiksa kita secara psikologis, hingga bahkan setelah menontonnya emosi kita masih kebawa. Siksaan terbesar saya pada Midsommar sesungguhnya hadir lewat adegan sepuluh menit pertama. Mendengar teriakan Florence Pugh mengingatkan saya dengan jeritan Toni Colette di Hereditary (dan saya stress karena berhari-hari jeritan itu kayak nancap gag ilang-ilang di kepala saya). Beneran, ini kayaknya Ari Aster emang punya anxiety issue deh, orang normal yang optimis ga bakal mikir nulis film kayak begini. 


Yang juga menarik untuk dibahas adalah dari awal Ari Aster tidak berusaha menyembunyikan fakta bahwa komune Harga ini bukan komune normal. Mungkin kalau film horror pada umumnya akan membuat komune ini sebagai komune yang tampak menyenangkan - para anggotanya tampak ramah dan bahagia, tapi kemudian memberikan klimaks tiba-tiba yang bikin kita shock. Tapi di Midsommar tampaknya dari awal Ari Aster ingin memberikan penekanan bahwa ini komune jelas udah ga bener. Segalanya tampak aneh dan ganjil - anggota komune seperti robot yang dipaksa untuk ceria, dan kita memang tidak diajak untuk menebak-nebak. Kita semua sudah tahu bahwa film ini akan menuju hal yang tidak menyenangkan, dan kita tinggal menunggu kapan saatnya. Dalam "membimbing" kita menuju adegan-adegan puncaknya, Ari Aster melakukan pendekatan seperti memberikan efek-efek sureal psychedelic yang membuat kita seolah-olah masuk ke pikiran protagonis yang tidak lagi bisa jernih, wajah kebingungan dan nafas berat Florence Pugh (great acting, by the way), maupun scoring music dari Bobby Krlic dengan suara-suara alat musik sumbang yang menyiratkan bahwa yang kita saksikan ini adalah sebuah opera horror. Inilah yang saya maksud di paragraf sebelumnya, ia membuat kita cemas, dan menyiksa kita secara psikologis.

Saya tahu Midsommar dibicarakan oleh banyak orang untuk satu alasan yang cukup jelas: film ini penuh kontroversi karena adegan-adegan sadisnya yang eksplisit. Penayangan Midsommar di bioskop Indonesia saja terpaksa ditunda karena adanya kendala di LSF (bahkan sempat dirumorkan batal tayang di sini). Tapi perlu saya sampaikan, saya agak menyayangkan jika penonton hanya fokus pada adegan sadisnya, tanpa memahami konteks visi sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh sutradaranya. Oke, Midsommar adalah film yang membuatmu ingin muntah, tapi tentu saja Ari Aster punya maksud tertentu selain itu. Walaupun begitu, sayangnya sepanjang menonton saya sedikit kesulitan memahami apa yang ingin disampaikannya. Dan bahkan setelah membaca interview Aster dengan beberapa media, saya tetap merasa pesan film ini tidak sekuat yang pernah ia lakukan di Hereditary. Tapi ya memang sih, agak sulit bersaing dengan diri sendiri. But anyway, saya akan menuliskan pemikiran saya dalam penjelasan film di artikel tersendiri yang bisa kamu baca disini.

...

Ngomong-ngomong, pas saya menonton ini saya juga lagi baca buku The World Until Yesterday-nya Jared Diamond (recommended book, anyway). Buku ini mengupas nilai-nilai yang bisa kita ambil dari budaya dan tradisi masyarakat tradisional. Ada beberapa hal yang ekstrim yang dibahas di sini, seperti perilaku ekstrim masyarakat suatu suku dimana seorang janda "minta" dicekik sampai mati, atau bagaimana sebagian masyarakat nomaden meninggalkan lansia-lansia dalam sukunya untuk mati, atau seorang perempuan yang melahirkan bayi cacat akan membiarkan bayinya mati. Pas ngebaca buku ini saya sih kayak manggut-manggut doank biarpun tradisi ini terdengar sangat biadab, karena dalam kacamata antropologi, perilaku ini pasti punya alasan tertentu dan kita ga bisa memaksa mereka menggunakan nilai moral kita yang relatif baru dalam sejarah manusia. Tapi yaa begitu saya nonton Midsommar ini, dan sebagian ritual dalam film menyampaikannya dengan gamblang, tetap aja saya langsung ngerasa mental saya terganggu.

PS : Bagi yang bertanya apakah sensor bioskop agak mengganggu... iya memang rada mengganggu sih. Tapi saya tetap menikmati experience menontonnya  di bioskop sih, yang mungkin ga bakal saya dapatkan jika menontonnya di laptop. Dan sebenarnya adegan yang dipotong tidak terlalu mengganggu narasi cerita juga... Tapi ya gitu, berasa dapet experience yang kurang lengkap. Tapi saya masih encourage kamu untuk menontonnya di bioskop, supaya distributor film yang mendatangkan film ini ke bioskop kita ga rugi dan terpacu untuk membawa film-film keren lainnya ~ 



Demikianlah Artikel Review: Midsommar (2019) (4/5)

Sekianlah artikel Review: Midsommar (2019) (4/5) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Review: Midsommar (2019) (4/5) dengan alamat link https://contohwebsiteagc.blogspot.com/2019/09/review-midsommar-2019-45.html

0 Response to "Review: Midsommar (2019) (4/5)"

Posting Komentar