Judul : Avengers : Endgame (2019) (4,5/5)
link : Avengers : Endgame (2019) (4,5/5)
Avengers : Endgame (2019) (4,5/5)
RottenTomatoes: 96% | IMDb: 9,1/10 | Metascore: 77/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5
Rated: PG-13 | Genre: Action, Adventure
Directed by Anthony Russo, Joe Russo ; Produced by Kevin Feige ; Screenplay by Christopher Markus, Stephen McFeely ; Based on The Avengers by Stan Lee, Jack Kirby ; Starring Robert Downey Jr., Chris Evans, Mark Ruffalo, Chris Hemsworth, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Don Cheadle, Paul Rudd, Brie Larson, Karen Gillan, Danai Gurira, Bradley Cooper, Josh Brolin ; Music by Alan Silvestri ; Cinematography Trent Opaloch ; Edited by Jeffrey Ford, Matthew Schmidt; Production companyMarvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date April 26, 2019 (United States) ; Running time181 minutes ; Country United States ; Language English
Story / Cerita / Sinopsis :
Setelah Thanos berhasil menjalankan misinya dengan melenyapkan separuh makhluk hidup di alam semesta, para anggota Avengers yang tersisa berusaha mengembalikan keadaan seperti semula.
Review / Resensi:
This is it. Kamu boleh membenci dan mulai bosan dengan trend film superhero yang dibawanya, tapi kamu nggak bisa menyangkal bahwa Marvel Cinematic Universe (MCU) merupakan sebuah sejarah di dunia hiburan. MCU berhasil menjadikan universe-nya sebagai sebuah pop culture trend generasi 2010-an, yang mungkin tidak hanya menghasilkan fans-fans militan, namun juga haters yang sama militannya. Lalu bagaimana mengakhiri sebuah saga yang telah dibangun dengan solid selama 10 tahun lewat 21 film? Secara singkat: Avengers: Endgame adalah sebuah closure yang pantas kita dapatkan dan sebuah tribute yang layak bagi jagoan-jagoan kita. Bagi mereka yang mencintai MCU, apalagi bagi mereka yang telah mengikuti MCU dari awal, terlepas dari segala kekuranganya, akan mudah untuk merasa emosional selama menontonnya: kamu akan dibikin sedih, tertawa, gembira, orgasme, terharu, hingga patah hati. Hype Endgame, kawan, sama sekali ga berlebihan.Ngomong-ngomong, pemberitahuan terlebih dahulu, review + analisa ini tidak ditujukan untuk mereka yang belum menonton Avengers: Endgame ya, karena saya akan ngasih spoiler yang rawan membuat kenikmatan menonton jadi berkurang. Jadi, kalo situ belum nonton mending jangan dilanjutin baca!
Mari kita flashback ke Avengers: Infinity War (2018), yang buat saya sendiri merupakan sebuah terobosan di dunia film superhero (atau film kebaikan versus kejahatan pada umumnya). Kenapa demikian? Karena di Infinity War, saya merasa Thanos (Josh Brolin), sang villain, adalah sentral utama kisah itu bergulir. Sekilas dalam bentuk alien ungu dengan janggut berkerut seperti gethuk lindri, ia terlihat seperti sekedar villain yang gitu-gitu aja. Namun setidaknya ia adalah villain yang punya idealisme tertentu yang bisa dibilang mengandung niat "baik", walaupun mungkin caranya kelewat ekstrem. Ia adalah "kerusakan" yang sebenarnya dibutuhkan oleh alam semesta ini (ia adalah Dewa Shiwa!). Untuk mewujudkan apa yang ia sebut keseimbangan, ia bertekad melenyapkan separuh makhluk hidup di alam semesta. Saya juga pernah menuliskan analisa saya soal ini sebelumnya di review saya tentang Infinity War. Ketika jagoan-jagoan kita ga rela mengorbankan rekan-rekannya untuk mencegah Thanos menguasai dunia, Thanos justru rela mengorbankan segalanya untuk mencapai idealisme yang ia inginkan. Termasuk mengorbankan Gamora (Zoe Zaldana). Jangan salah lho, Thanos mencintai anak perempuannya itu. Jadi, tekad seluruh superhero di MCU dalam menyelamatkan dunia sebenarnya kalah kuat dibandingkan tekad Thanos menyelamatkan dunia.
Infinity War kemudian diakhiri dengan sangat menarik, dalam adegan yang bikin merinding dan mengingatkan saya dengan serial TV the Leftovers saat tokoh-tokoh kesayangan kita berubah menjadi debu. Thanos berhasil memenangkan pertarungan dan jagoan-jagoan kita dibuat kalah. Beneran kalah. Jarang-jarang lho villain dibiarkan menang (yang pernah menang setahu saya paling cuma Joker di The Dark Knight). Oh, lalu apa yang terjadi setelah Thanos menang? Apakah dengan kekuatan infinity stones di tangannya ia akan jadi sosok tiran? Enggak donk. Ternyata Thanos malah hidup damai menyepi di sawah, karena merasa tujuan hidupnya telah tercapai.
Avengers: Endgame mengawali dengan apa yang terjadi di ending Infinity War. Ketika Thanos yang berhasil menang justru memilih menyepi, hidup damai nan sederhana, apa yang terjadi bagi para superhero kita yang kalah? Bagaimana superhero yang tersisa - anggota Avengers utama, yang kontraknya kayaknya udah ga diperpanjang oleh studio - melanjutkan hidup mereka dan menerima kekalahan ini? Natasha (Scarlett Johansson) dan Capt (Chris Evans) berusaha move on sambil tetap berpikir optimis, Clint (Jeremy Renner) yang depresi kehilangan keluarganya kemudian menjadi hakim jalanan dengan gaya rambut yang keren banget, Thor (Chris Hemwsorth) malah berubah menjadi gendut berantakan ala The Dude Lebowski dan hobi mabuk-mabukan (hancur sudah khayalan perempuan yang berharap melihat kesempurnaan badan sixpack Chris Hemsworth di Endgame), sementara Tony Stark (Robert Downey, Jr.) memilih untuk menyerah dan hidup damai dengan apa yang ia punya. Awal cerita Endgame adalah drama yang membuat kita melihat sisi lemah manusiawi superhero jagoan kita. Bahkan lagu Traffic berjudul Dear Mr. Fantasy yang muncul seiring dengan logo Marvel (yang tidak seperti biasanya mereka lakukan), mempunyai lirik "Dear Mister Fantasy play us a tune. Something to make us all happy. Do anything take us out of this gloom. Sing a song, play guitar, make it snappy." - yang seolah-olah mempertegas kesan putus asa dan kesedihan yang terjadi. Ah, ketika Clint bilang "Don't give me hope" ke Nat, rasanya hati saya seperti ikutan hancur dan merasa kehilangan.
Namun tentu saja apa yang menjadikan seorang superhero adalah superhero bukan sekedar kemampuan fisik super dan otak yang jenius, namun juga semangat pantang menyerah, dan tentu saja, sebuah keberuntungan yang cuma bisa ada di film dengan rating PG-13 dan target market general audience. Keberuntungan itu berupa tikus yang akhirnya "mengeluarkan" Ant-Man dari quantum realm. Dan cerita selanjutnya, bisa kamu saksikan di film ini ~
Lalu, bagaimana seharusnya mengakhiri sebuah film yang telah sedemikian rupa telah ditunggu-tunggu oleh para fans? Mungkin dengan memasukkan tema time-travel terasa seperti "cheating" termudah, tapi dengan time-travel inilah fans diajak untuk nostalgia, literally, ke 2 film MCU sebelumnya, The Avengers (2012) dan Guardians of the Galaxy (2014). Saya ingat saya sedemikian excited ketika mendengar Come and Get Your Love-nya Redbone terdengar, yang merupakan opening scene Guardians of the Galaxy - film superhero favorit saya sepanjang masa, dimana Peter Quill tampak santai sambil berdansa dengan walkman di telinganya. Saya juga tersenyum lebar ketika mereka kembali ke New York pada setting waktu Avengers tahun 2012 terjadi. Dengan time-travel ini fans diajak bernostalgia dan mengenang kembali momen-momen yang pernah mereka lihat sebelumnya, dan ini sangat menyenangkan. Oh dan tambahan lagi, dengan adanya time-travel yang kemudian membuat fans mempertanyakan banyak hal (apakah ada time-paradox? apakah ada plot-hole?) tampaknya membuka ruang bagi MCU untuk mengeskpansi universenya (apakah akan ada multiverse?). Bagi yang mempertanyakan soal plot-hole tampaknya harus bersabar dan jangan suudzon, karena saya yakin orang-orang di balik MCU pasti sudah memikirkan ini semua dengan baik. Kita tunggu saja Spiderman: Far From Home yang menjadi akhir Phase 3 MCU.
Setiap yang bermula pasti ada akhir dan perpisahan. Sebagaimana judulnya, Avengers: Endgame adalah film dimana kita harus mengucapkan perpisahan kepada Avengers generasi pertama. Abaikan saja fakta bahwa ketika Thanos menjentikkan jarinya, ia - entah bagaimana - masih menyisakan Avengers utama. Sebelum menonton Endgame, saya yakin kita semua sudah tahu bahwa ini saatnya mengucapkan perpisahan, bahkan sampai dibuka bursa taruhan siapa yang akan mati di film ini. Tapi tetap saja donk, walaupun saya sudah menebak siapa yg akan mati, saya menemukan mata saya berkaca-kaca kala perpisahan itu sungguh terjadi. Saya sebenarnya tidak pernah emosional menonton film-film seperti ini, tapi ya tetep aja saya sedih (entah apakah saya memang sedih, atau karena sedang PMS). Saya bahkan bisa merasakan keheningan satu bioskop kala momen perpisahan itu terjadi. Endgame membuatmu bersedih, tapi sebagaimana hidup, ini adalah kesedihan yang harus dihadapi. Endgame adalah film dimana cowok-cowok ga malu untuk mengakui bahwa mereka menangis kala menontonnya.
Sebagian besar orang yang bilang lebih menyukai Infinity War dibandingkan Endgame biasanya punya satu alasan utama: action di Endgame kurang, dan porsi dramanya berlebihan. Saya sih ga merasa porsi dramanya berlebihan, malah porsi drama itu bisa dirangkai dengan solid tanpa harus kelihatan dipaksakan sama sekali. Para superhero utamanya, punya kisah masing-masing yang membuat sosok superhero kita semakin humanis. Nat yang merasa kehilangan segalanya, karena baginya Avengers adalah keluarganya, Tony yang bertemu dengan ayahnya, Thor yang bertemu dengan ibunya, dan Capt yang bertemu dengan cinta sejatinya (jangan salah, cinta sejatinya Peggy bukan Bucky!). Sungguh, Avengers: Endgame memang selayaknya sebuah tribute untuk superhero utamanya. Action scene akan terkonsentrasi di babak akhirnya dalam pertempuran maha epik yang mengingatkanmu dengan Lord of the Rings, dan jelas setingkat lebih baik daripada battle bawah laut-nya Aquaman. Tapi tentu saja, action scene di bagian akhir ini akan sulit memuaskan dahaga sebagian besar penonton, termasuk saya, because WE WANT MORE! Kalo perlu durasi yang sudah tiga jam dibuat sampai empat jam dengan tambahan action scene-nya, penonton pasti rela (studionya yang ga rela).
Akan tetapi, Endgame bukannya tanpa kelemahan. Bukan, jelas kelemahannya bukan pada jokes-nya. Selera humor saya hampir selalu cocok dengan selera humor film-film MCU (sementara komedi di Shazam aja ga sampe bisa bikin saya ketawa ngakak), dan saya tipe yang menyukai Thor yang segarang itu malah dijadikan sebagai comic relief-nya. Kelemahannya yang pertama adalah saya merasa bagian awalnya terlalu terburu-buru (tapi emang susah juga sih untuk ngerangkum semuanya dalam durasi yang terbatas), dan adegan pembunuhan Thanosnya di bagian awal nyaris seperti lelucon. Mungkin memang dimaksudkan demikian untuk memberikan kesan antiklimaks. Thanos wafat, dan ga ada yang bisa dilakukan. Selain itu, kesan emosional depresifnya memang tidak sampai semencekam sesuai standar saya. Bagaimanapun juga, Endgame adalah film untuk general audience, termasuk anak-anak dan remaja, dan ya kalik masa mau dibikin seperti Game of Thrones. Karena itu bagi kamu yang merasa MCU terlalu bermain aman, maka ketahuilah inti utama film MCU adalah fun dengan target market general audience. Jadi jangan bandingin film-film MCU dengan Logan dan The Dark Knight lah, karena visi-misi filmnya berbeda. Ketiga, sebagian besar fans mungkin akan merasa filmnya predictable karena banyak yang sesuai dengan fans theory yang bertebaran di internet. Tapi untunglah saya nggak pernah baca fans theory macam begini, karena biar pas nonton saya bisa dibikin terkesima. Saya aja kalo nonton film-film misteri dengan twist berusaha ga menebak-nebak kok biar pas endingnya saya dibikin terkejut. Bukankah itu letak keseruan menonton sebuah film?
Demikianlah Artikel Avengers : Endgame (2019) (4,5/5)
Sekianlah artikel Avengers : Endgame (2019) (4,5/5) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Avengers : Endgame (2019) (4,5/5) dengan alamat link https://contohwebsiteagc.blogspot.com/2019/04/avengers-endgame-2019-455.html
0 Response to "Avengers : Endgame (2019) (4,5/5)"
Posting Komentar